Pendahuluan
Stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih menjadi tantangan besar dalam upaya meningkatkan kesadaran dan penerimaan terhadap kesehatan mental.
Label negatif, diskriminasi, hingga perlakuan yang tidak adil kerap dialami oleh mereka yang berjuang dengan gangguan mental. Namun, bagaimana sebenarnya kita bisa mengukur seberapa besar stigma ini berkembang di masyarakat?
Alat ukur stigma masyarakat tentang orang dengan gangguan jiwa menjadi instrumen penting dalam memahami pola pikir dan sikap publik.
Artikel ini akan membahas berbagai metode dan instrumen yang digunakan untuk menilai stigma, serta bagaimana data yang diperoleh dapat membantu merancang kebijakan dan intervensi yang lebih efektif.
Mengapa Stigma Perlu Diukur?
Pemahaman yang mendalam tentang stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) bukan sekadar teori, tetapi sebuah langkah nyata dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih inklusif.
Tanpa pengukuran yang jelas, stigma hanya akan menjadi persepsi tanpa data yang dapat dianalisis lebih lanjut.
Pentingnya Pengukuran Stigma dalam Penelitian Kesehatan Mental
Stigma terhadap ODGJ tidak hanya mempengaruhi individu yang mengalaminya, tetapi juga lingkungan sosial di sekitarnya.
Mengukur stigma secara sistematis memungkinkan para peneliti untuk memahami seberapa besar dampaknya terhadap akses layanan kesehatan mental, kesejahteraan pasien, dan efektivitas program edukasi yang telah diterapkan.
Tanpa data yang valid, sulit untuk menilai apakah stigma berkurang atau justru semakin mengakar di masyarakat.
Penelitian berbasis data juga membantu mengidentifikasi pola stigma yang mungkin tidak terlihat secara kasat mata.
Apakah stigma lebih kuat di kelompok usia tertentu? Apakah faktor budaya dan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap cara seseorang memandang gangguan jiwa? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat ditemukan melalui pengukuran yang sistematis dan terpercaya.
Implikasi dalam Kebijakan Kesehatan dan Intervensi Sosial
Hasil dari pengukuran stigma bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi menjadi dasar dalam perumusan kebijakan kesehatan mental yang lebih efektif.
Pemerintah dan organisasi kesehatan dapat menggunakan data ini untuk menentukan strategi terbaik dalam mengurangi diskriminasi terhadap ODGJ, termasuk melalui kampanye edukasi, pelatihan tenaga kesehatan, serta penyediaan layanan kesehatan mental yang lebih mudah diakses tanpa rasa takut akan stigma.
Selain itu, data mengenai stigma juga berperan dalam merancang intervensi sosial yang lebih tepat sasaran.
Program berbasis komunitas, advokasi publik, hingga pendekatan berbasis pengalaman langsung dari ODGJ bisa dirancang lebih efektif jika ada pemahaman yang mendalam tentang bagaimana stigma berkembang dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Mengukur stigma bukan hanya sekadar kebutuhan akademis, tetapi langkah penting untuk menciptakan perubahan sosial yang nyata.
Tanpa data yang jelas, upaya mengatasi stigma akan berjalan tanpa arah yang pasti.
Metode dan Instrumen yang Digunakan untuk Mengukur Stigma
Menilai stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) memerlukan pendekatan yang terstruktur dan terukur.
Hanya melalui metode yang tepat, pemahaman tentang bagaimana stigma berkembang dan berdampak pada kehidupan seseorang dapat diperoleh secara akurat.
Pemilihan instrumen yang valid dan reliabel menjadi kunci dalam memastikan bahwa hasil pengukuran mencerminkan kondisi yang sebenarnya di masyarakat.
Kriteria Alat Ukur Stigma yang Valid dan Reliabel
Tidak semua alat ukur dapat digunakan begitu saja dalam penelitian stigma. Sebuah instrumen harus memenuhi kriteria validitas dan reliabilitas agar dapat menghasilkan data yang kredibel.
- Validitas mengacu pada sejauh mana alat ukur dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Jika tujuannya adalah mengidentifikasi sikap diskriminatif terhadap ODGJ, maka instrumen harus benar-benar mampu menangkap persepsi dan keyakinan masyarakat terhadap individu dengan gangguan mental.
- Reliabilitas merujuk pada konsistensi hasil pengukuran ketika alat tersebut digunakan berulang kali dalam kondisi yang serupa. Alat ukur yang reliabel akan menghasilkan temuan yang stabil dan tidak berubah secara drastis meskipun digunakan dalam sampel yang berbeda atau dalam rentang waktu tertentu.
Selain kedua aspek tersebut, instrumen yang efektif juga harus mudah digunakan, memiliki skala pengukuran yang jelas, serta dapat diaplikasikan pada berbagai kelompok sosial dan budaya.
Jenis Pendekatan dalam Pengukuran Stigma
Berbagai metode digunakan dalam penelitian stigma untuk menangkap sikap dan persepsi masyarakat secara lebih menyeluruh.
Pendekatan yang sering digunakan meliputi survei, wawancara, dan eksperimen sosial.
- Survei
Pendekatan ini merupakan metode yang paling umum digunakan dalam penelitian stigma. Kuesioner disebarkan kepada responden untuk mengukur opini dan sikap mereka terhadap ODGJ. Survei dapat dilakukan secara daring maupun luring, dengan format skala Likert atau pilihan ganda untuk mengukur intensitas stigma yang dirasakan atau diyakini oleh individu. - Wawancara
Berbeda dengan survei yang bersifat lebih kuantitatif, wawancara memungkinkan peneliti menggali lebih dalam pengalaman dan pandangan responden mengenai stigma kesehatan mental. Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur dengan daftar pertanyaan yang sudah ditentukan sebelumnya atau bersifat semi-terstruktur agar lebih fleksibel dalam eksplorasi jawaban. - Eksperimen Sosial
Dalam beberapa penelitian, eksperimen sosial digunakan untuk melihat bagaimana seseorang bereaksi terhadap individu dengan gangguan jiwa dalam situasi kehidupan nyata. Misalnya, peneliti dapat mengamati bagaimana orang bereaksi saat melihat individu dengan gejala gangguan mental di ruang publik. Metode ini membantu memahami stigma yang muncul dalam konteks perilaku, bukan sekadar opini yang diungkapkan dalam survei atau wawancara.
Setiap pendekatan memiliki kelebihan dan keterbatasan masing-masing, sehingga pemilihan metode harus disesuaikan dengan tujuan penelitian dan konteks sosial yang ingin diteliti.

Alat Ukur Stigma yang Paling Sering Digunakan
Berbagai instrumen telah dikembangkan untuk memahami stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) secara lebih terukur. Beberapa alat ukur telah diuji validitas dan reliabilitasnya dalam berbagai penelitian, menjadikannya acuan utama dalam studi kesehatan mental. Berikut adalah beberapa skala yang paling umum digunakan dalam penelitian stigma kesehatan jiwa.
Community Attitudes toward the Mentally Ill (CAMI)
Salah satu alat ukur yang paling banyak digunakan dalam studi stigma adalah Community Attitudes toward the Mentally Ill (CAMI). Skala ini dirancang untuk mengevaluasi sikap masyarakat terhadap individu dengan gangguan mental.
Deskripsi Skala dan Subdimensinya
CAMI terdiri dari 40 pernyataan yang mencerminkan empat dimensi utama:
- Authoritarianism – Keyakinan bahwa ODGJ tidak mampu mengendalikan diri dan harus dikontrol oleh otoritas tertentu.
- Benevolence – Sikap welas asih terhadap ODGJ, yang memandang mereka sebagai individu yang perlu dibantu.
- Social Restrictiveness – Pandangan bahwa individu dengan gangguan mental berbahaya dan harus dibatasi ruang geraknya.
- Community Mental Health Ideology – Sikap positif terhadap layanan kesehatan mental berbasis komunitas.
Contoh Item Pertanyaan
- “Orang dengan gangguan mental harus ditempatkan di fasilitas khusus untuk melindungi masyarakat.”
- “Penderita gangguan jiwa membutuhkan lebih banyak dukungan daripada kontrol.”
Validitas dan Reliabilitas
Instrumen ini telah banyak diuji dalam berbagai penelitian lintas budaya dan menunjukkan reliabilitas yang baik. Validitasnya juga cukup kuat karena mampu membedakan sikap yang berbeda dalam kelompok populasi yang beragam.
Internalized Stigma of Mental Illness (ISMI)
Stigma tidak hanya datang dari masyarakat, tetapi juga bisa dialami individu dengan gangguan jiwa dalam bentuk stigma internal. Internalized Stigma of Mental Illness (ISMI) digunakan untuk mengukur sejauh mana seseorang dengan gangguan mental mengalami perasaan rendah diri akibat stigma yang diterima.
Struktur Skala dan Contoh Item
ISMI terdiri dari 29 item yang dikelompokkan ke dalam lima dimensi:
- Alienation – Perasaan terisolasi dari masyarakat.
- Stereotype Endorsement – Keyakinan bahwa stigma masyarakat memang benar adanya.
- Discrimination Experience – Persepsi bahwa individu dengan gangguan mental sering mendapatkan perlakuan tidak adil.
- Social Withdrawal – Kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial akibat rasa malu atau takut akan penolakan.
- Stigma Resistance – Kemampuan individu untuk melawan stigma dan tetap memiliki harga diri.
Contoh item pertanyaan:
- “Saya merasa berbeda dari orang lain karena memiliki gangguan mental.”
- “Orang lain menghindari saya setelah mengetahui saya memiliki masalah kesehatan mental.”
Instrumen ini telah digunakan secara luas dan menunjukkan validitas yang baik dalam mengukur dampak stigma internal terhadap kesejahteraan psikologis individu.
The Attribution Questionnaire (AQ-27)
Penelitian stigma juga sering memanfaatkan The Attribution Questionnaire (AQ-27) untuk mengevaluasi bagaimana masyarakat mengatribusi atau memberikan penilaian terhadap ODGJ.
Fokus pada Atribusi Masyarakat terhadap ODGJ
AQ-27 mengukur berbagai respons emosional dan perilaku yang muncul ketika seseorang berinteraksi dengan individu yang memiliki gangguan mental. Skala ini menilai aspek-aspek seperti empati, ketakutan, atau keinginan untuk menjaga jarak.
Relevansi dalam Mengukur Stigma Berbasis Stereotip
Dalam skala ini, responden diberikan sebuah skenario tentang seseorang dengan gangguan jiwa, kemudian diminta menilai sikap mereka dalam berbagai aspek, seperti:
- Apakah mereka merasa kasihan atau takut terhadap individu tersebut?
- Apakah mereka bersedia membantu atau justru ingin menjauh?
AQ-27 sering digunakan dalam penelitian tentang stigma berbasis stereotip, karena dapat menggambarkan bagaimana keyakinan yang salah tentang gangguan mental berdampak pada perilaku sosial.
Mental Illness Stigma Scale (MISS)
Instrumen berbasis psikometri seperti Mental Illness Stigma Scale (MISS) telah banyak digunakan dalam studi persepsi publik terhadap gangguan mental.
Skala ini dirancang untuk mengukur sejauh mana seseorang memiliki pandangan negatif tentang individu dengan gangguan jiwa. Beberapa aspek yang dinilai meliputi stereotip, diskriminasi, dan ketakutan terhadap ODGJ.
MISS sering digunakan dalam studi skala besar karena memiliki keandalan yang tinggi dan dapat diterapkan pada berbagai kelompok sosial.
Perceived Devaluation and Discrimination Scale (PDD)
Memahami bagaimana individu dengan gangguan jiwa merasa dinilai oleh masyarakat sangat penting dalam penelitian stigma. Perceived Devaluation and Discrimination Scale (PDD) digunakan untuk mengukur tingkat persepsi seseorang terhadap kemungkinan diskriminasi yang akan mereka hadapi.
Instrumen ini menilai bagaimana individu dengan gangguan mental merasa dipandang oleh masyarakat, misalnya:
- Apakah mereka merasa akan kehilangan pekerjaan jika orang lain mengetahui kondisi mereka?
- Apakah mereka yakin bahwa masyarakat akan menerima mereka sebagai individu yang setara?
Hasil dari skala ini dapat membantu dalam mengembangkan kebijakan sosial yang lebih mendukung integrasi ODGJ dalam kehidupan masyarakat.
Faktor yang Mempengaruhi Hasil Pengukuran Stigma
Hasil pengukuran stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tidak hanya bergantung pada instrumen yang digunakan, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal.
Latar belakang sosial, budaya, tingkat pendidikan, hingga pengalaman individu dalam berinteraksi dengan ODGJ memainkan peran penting dalam membentuk persepsi dan sikap seseorang terhadap gangguan mental.
Pengaruh Latar Belakang Budaya dan Sosial
Setiap masyarakat memiliki norma dan nilai yang membentuk cara pandang mereka terhadap kesehatan mental.
Budaya yang lebih terbuka terhadap isu psikologis cenderung memiliki tingkat stigma yang lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat yang masih menganggap gangguan jiwa sebagai sesuatu yang tabu.
Di beberapa komunitas, kepercayaan bahwa gangguan mental disebabkan oleh faktor mistis atau lemahnya iman masih cukup kuat.
Perspektif ini sering kali menyebabkan penderita ODGJ mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya, seperti pengucilan atau bahkan pemasungan.
Sebaliknya, di lingkungan yang lebih menerima dan mendukung perawatan medis untuk gangguan mental, stigma cenderung lebih rendah dan individu dengan gangguan jiwa memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan perawatan yang layak.
Kondisi sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap tingkat stigma. Masyarakat dengan akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan mental umumnya memiliki pemahaman yang lebih baik, sehingga sikap diskriminatif terhadap ODGJ lebih minim.
Sebaliknya, kelompok dengan akses terbatas terhadap informasi dan layanan kesehatan mental lebih rentan memiliki pandangan negatif terhadap gangguan jiwa.
Faktor Pendidikan dan Pengalaman Pribadi dengan ODGJ
Tingkat pendidikan berperan besar dalam membentuk persepsi seseorang terhadap kesehatan mental.
Individu dengan pemahaman yang lebih baik cenderung lebih rasional dalam menilai gangguan jiwa dan tidak mudah terpengaruh oleh mitos atau stereotip yang beredar di masyarakat.
Pendidikan yang memasukkan aspek kesehatan mental dalam kurikulumnya dapat membantu mengurangi stigma sejak usia dini, terutama jika siswa mendapatkan informasi yang akurat mengenai penyebab, gejala, dan cara menangani gangguan jiwa.
Pengalaman langsung dalam berinteraksi dengan ODGJ juga memiliki dampak signifikan terhadap cara seseorang menilai stigma.
Seseorang yang memiliki anggota keluarga atau teman dekat dengan gangguan mental cenderung lebih empatik dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang tantangan yang dihadapi ODGJ.
Sebaliknya, individu yang belum pernah berinteraksi langsung dengan penderita gangguan jiwa lebih rentan membentuk opini berdasarkan stereotip yang beredar di masyarakat.
Penelitian menunjukkan bahwa program berbasis pengalaman, seperti contact-based education, di mana individu dapat berinteraksi langsung dengan ODGJ dalam lingkungan yang terkendali, terbukti efektif dalam mengurangi stigma.
Program seperti ini membantu membangun pemahaman yang lebih manusiawi dan mencegah kesalahpahaman yang sering kali menjadi akar dari stigma.
Setiap faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran stigma harus diperhitungkan dengan cermat dalam analisis data.
Variasi budaya, tingkat pendidikan, serta pengalaman individu dalam berinteraksi dengan ODGJ dapat memberikan wawasan lebih mendalam mengenai bagaimana stigma berkembang dan bagaimana cara terbaik untuk menguranginya.
Tantangan dalam Pengukuran Stigma Kesehatan Mental
Menilai stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) bukanlah tugas yang sederhana. Berbagai hambatan dapat mempengaruhi keakuratan hasil penelitian, mulai dari bias dalam respons hingga kendala metodologis yang muncul selama proses pengukuran.
Memahami tantangan ini menjadi langkah penting dalam meningkatkan validitas hasil dan memastikan bahwa data yang diperoleh benar-benar mencerminkan realitas yang ada di masyarakat.
Bias dalam Response Survei
Kejujuran responden dalam mengisi survei menjadi faktor krusial dalam penelitian stigma kesehatan mental.
Sayangnya, tidak semua individu memberikan jawaban yang mencerminkan opini atau sikap mereka yang sebenarnya.
Bias sosial dapat membuat responden cenderung memilih jawaban yang dianggap lebih diterima oleh masyarakat, bukan yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Fenomena ini dikenal sebagai social desirability bias, di mana seseorang menjawab pertanyaan berdasarkan norma sosial yang berlaku.
Sebagai contoh, seseorang yang sebenarnya memiliki pandangan negatif terhadap ODGJ mungkin akan mengisi survey dengan jawaban yang lebih positif agar tidak terlihat diskriminatif.
Akibatnya, hasil penelitian bisa menjadi tidak akurat dan menggambarkan tingkat stigma yang lebih rendah daripada kenyataannya.
Selain itu, bias kognitif juga dapat mempengaruhi hasil survei. Beberapa responden mungkin tidak sepenuhnya memahami pertanyaan yang diajukan atau memiliki interpretasi yang berbeda terhadap pernyataan dalam instrumen pengukuran.
Hal ini bisa menyebabkan variasi dalam jawaban yang tidak berkaitan langsung dengan stigma, tetapi lebih kepada pemahaman individu terhadap pertanyaan tersebut.
Kendala Metodologis dalam Penelitian Stigma
Proses mengukur stigma terhadap ODGJ melibatkan berbagai tantangan teknis yang harus diatasi agar hasil penelitian tetap dapat dipercaya. Salah satu kendala utama adalah keterbatasan dalam memilih metode pengukuran yang tepat.
Setiap pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga kombinasi metode seringkali diperlukan untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif.
Metode kuantitatif seperti survei dapat memberikan gambaran umum tentang stigma di masyarakat, tetapi sering kali kurang mampu menangkap nuansa emosional dan pengalaman subjektif individu.
Sebaliknya, metode kualitatif seperti wawancara mendalam dapat menggali lebih dalam pengalaman dan pandangan seseorang, tetapi cenderung lebih sulit untuk digeneralisasi ke populasi yang lebih luas.
Selain itu, representasi sampel juga menjadi tantangan tersendiri. Populasi yang beragam dari segi budaya, tingkat pendidikan, dan pengalaman dengan ODGJ dapat memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap stigma.
Jika penelitian tidak memperhitungkan keberagaman ini, hasil yang diperoleh mungkin tidak mencerminkan kondisi nyata secara keseluruhan.
Tantangan lain yang sering muncul adalah kesulitan dalam mendapatkan partisipasi dari individu yang mengalami gangguan jiwa itu sendiri.
Stigma yang sudah ada membuat banyak ODGJ enggan untuk berbicara tentang pengalaman mereka, sehingga data yang diperoleh bisa saja lebih banyak berasal dari kelompok masyarakat umum dibandingkan dari mereka yang langsung terdampak oleh stigma tersebut.
Meskipun ada berbagai kendala dalam pengukuran stigma kesehatan mental, langkah-langkah strategis dapat diterapkan untuk meningkatkan akurasi hasil penelitian.
Menggunakan kombinasi metode, merancang pertanyaan yang lebih netral, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya partisipasi dalam studi kesehatan mental adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi tantangan ini.
Baca Juga : Dampak Stigma dan Diskriminasi: Efek Buruk yang Harus Kita Hentikan
Kesimpulan
Memahami dan mengukur stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah langkah krusial dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih inklusif.
Berbagai instrumen telah dikembangkan untuk menilai sikap, persepsi, serta diskriminasi terhadap individu dengan gangguan mental.
Beberapa alat ukur yang paling sering digunakan dalam penelitian mencakup Community Attitudes toward the Mentally Ill (CAMI), Internalized Stigma of Mental Illness (ISMI), The Attribution Questionnaire (AQ-27), Mental Illness Stigma Scale (MISS), dan Perceived Devaluation and Discrimination Scale (PDD).
Setiap skala memiliki keunggulan tersendiri dalam menangkap dimensi stigma yang berbeda, baik dari perspektif masyarakat umum maupun pengalaman pribadi ODGJ.
Memilih alat ukur yang tepat sangat bergantung pada tujuan penelitian atau kebijakan yang ingin dirancang.
Jika fokusnya adalah memahami sikap publik terhadap gangguan mental, CAMI dan MISS dapat menjadi pilihan utama.
Sebaliknya, jika penelitian bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana stigma berdampak pada individu yang mengalaminya, ISMI dan PDD lebih relevan digunakan.
Sementara itu, bagi penelitian yang ingin melihat bagaimana stereotip terbentuk dalam masyarakat, AQ-27 menjadi instrumen yang sesuai.
Penggunaan alat ukur stigma tidak hanya bermanfaat bagi penelitian akademik, tetapi juga memiliki implikasi yang luas dalam kebijakan kesehatan mental.
Data yang diperoleh dari pengukuran stigma dapat membantu pemerintah dan organisasi kesehatan dalam merancang strategi edukasi, advokasi sosial, serta peningkatan layanan kesehatan mental yang lebih inklusif.
Intervensi berbasis bukti, seperti program edukasi publik dan contact-based education, dapat dirancang lebih efektif jika didasarkan pada pemahaman yang akurat mengenai tingkat stigma di masyarakat.
Meskipun tantangan dalam pengukuran stigma masih ada, perbaikan dalam metode penelitian dan pendekatan yang lebih inovatif dapat meningkatkan akurasi hasil yang diperoleh. Mengkombinasikan berbagai metode, memperhitungkan faktor budaya, serta memastikan bahwa data yang dikumpulkan mencerminkan realitas yang sesungguhnya adalah langkah penting dalam mengatasi hambatan ini.
Menekan stigma terhadap ODGJ bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi merupakan upaya kolektif yang memerlukan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari peneliti, praktisi kesehatan mental, hingga pembuat kebijakan.
Klinik Sejiwaku adalah klinik psikiater dan psikolog Jakarta Barat dari kami yang hadir dengan menyediakan layanan konsultasi, terapi, dan edukasi, kami mempunyai dokter dan ahli kejiwaan profesional yang berkomitmen untuk mendampingi keluarga dalam menjaga kesehatan mental anak-anak mereka.
Cek jadwal praktik dokter kami! Bersama, kita dapat menciptakan generasi yang lebih kuat, bahagia, dan siap menghadapi masa depan dengan percaya diri.
Memanfaatkan instrumen pengukuran yang tepat akan menjadi pondasi dalam menciptakan perubahan yang nyata dalam cara masyarakat memahami dan memperlakukan individu dengan gangguan jiwa.